Wayang Kulit, Warisan Budaya Bangsa
Belajar membuat wayang oleh turis asing |
Ki Manteb Sudharsono, dalang wayang kulit terkenal itu, ternyata mempelajari dunia perwayangan dari sebuah desa di ujung selatan Wonogiri, Jawa Tengah. Desa itu mungkin kurang dikenal masyarakat luas. Tapi tidak dengan dunia perwayangan kulit Indonesia.
Namanya Desa Kepuhsari. Desa tersebut berada di atas perbukitan kars Kecamatan Manyaran, berjarak 41 kilometer dari pusat Kabupaten Wonogiri.
Dilingkupi tatar perbukitan cadas, Kepuhsari dihiasi tumbuhan-tumbuhan khas macam pohon sawo dan pohon jati. Tak hanya itu, sawah juga menghampar berundak-undak. Sayangnya, saat kemarau tiba, hamparan sawah yang menghijau berubah wujud. Kuning kecoklatan, kering. Bukan bulir padi yang tampak melainkan tanah yang tak tertanam.
Beruntung, Desa Kepuhsari dihuni manusia-manusia kreatif yang tak hanya berkutat di sawah atau ladang. Mereka seakan punya dunia lain yang membuat hidupnya penuh warna. Dunia penuh kebijaksanaan, dunia wayang.
Wayang kulit seolah mendarah daging di tubuh warga Desa Kepuhsari. Wayang bukan cuma dipentaskan, wayang menjadi identitas yang tak bisa lepas dari jalan cerita hidup warga Kepuhsari.
Bagi mereka, wayang juga bukan cuma pelajaran hidup. Wayang dikomodifikasi agar bisa diandalkan untuk menyambung hidup sehari-sehari selain bercocok tanam yang selama ini menjadi tumpuan. Maka tak bisa dipungkiri lagi, wayang bagi Desa Kepuhsari adalah sumber penghidupan.
"Filosofi wayang sungguh hidup dalam keseharian warganya. Tak cuma itu, Desa Kepuhsari juga kaya perajin wayang kulit dengan kualitas sangat baik atau renyep," celoteh Rieke Caroline, Juara II Putri Pariwisata Indonesia 2009 dan Runner-up 1 Miss Tourism International 2010, yang pernah dan sedang menjalani sebuah program di Desa Kepuhsari.
Ingin lebih banyak info mengenai paket hematnya?? hubungi 081910831792
Ingin lebih banyak info mengenai paket hematnya?? hubungi 081910831792
Program itu terkait pengembangan desa wisata yang mengutamakan dunia perwayangan Desa Kepuhsari. Dari catatan tim Nakula Sadewa (NaSa), kelompok yang diikuti Rieke, keberadaan kerajinan wayang di Kepuhsari telah berlangsung sejak 50 tahun lalu. Terakhir, catatan tim NaSa menyebutkan, ada sekitar 135 kepala keluarga di Desa Kepuhsari yang menekuni kerajinan pembuatan wayang.
Hasil kerajinan wayang dari Desa Kepuhsari sudah diakui kualitasnya, mulai dari pemilihan kulit, tatahan, serta pewarnaan wayang. Hasil kreavitas warga Kepuhsari pun sudah dikenal sampai ke luar daerah seperti Jakarta, Solo, Yogyakarta, Surabaya bahkan luar negeri. Para pembelinya juga tersebar di berbagai kota. Maka tak heran, jika dalang-dalang wayang kulit terkenal Indonesia mempercayakan wayang Kepuhsari dalam setiap pementasan.
"Keterampilan tatah sungging pun diajarkan turun-temurun dari generasi ke generasi," ungkap Rieke.
Proses kreatif melestarikan wayang kulit juga tidak terlepas dari peran beberapa sanggar wayang yang ada di Kepuhsari, sebut saja Sanggar Nimas, Sanggar Sukma, dan Sanggar Wayang Wagimin.
Selain melestarikan, ketiga sanggar wayang itu mempunyai fungsi penting sebagai tempat untuk mementaskan wayang kulit baik di dalam mau pun luar desa. Lebih penting lagi, sanggar-sanggar wayang menjadi tempat bagi penduduk desa untuk belajar mendalang, menjadi niyaga (penabuh gamelan), dan sinden (penyanyi yang mengiringi pementasan wayang dan posisi lain yang terkait).
Tak ayal, Kepuhsari menjadi sebuah desa yang cukup penting untuk menjaga, melestasikan, dan mengenalkan dunia perwayangan di Jawa Tengah maupun Indonesia. Kepuhsari bisa dibilang 'Desa Wayang' karena proses kreatif perwayangan di Kepuhsari dimulai dari hulu hingga hilir, dari tatah sungging (pembuatan) sampai pada pementasannya.