LATIHAN MENASIK HAJI SEBAGAI PEMBENTUK KEPRIBADIAN ANAK
Manasik Haji untuk anak |
Perkembangan agama pada masa anak terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil, utamanya dalam keluarga, dalam sekolah dan dalam lingkungan masyarakat. Semakin banyak pengalaman yang bersifat agamis (sesuai dengan ajaran agama) dan semakin banyak unsur agama ditanaamkan, maka dapat diharapkan sikap, tindakan, perilaku dan cara anak menghadapi hidup nantinya akan sesuai dengan ajaran agama. Setiap pengalaman yang dilalui anak dalam kehidupannya sehari-hari, baik melalui penglihatan, pendengaran, maupun perlakuan yang diterimanya, akan ikut menentukan pembinaan pribadinya.
Idealnya setiap orang tua dan pendidik (guru) ingin membina anak agar menjadi manusia yang baik, sehat fisik dan berkepribadian kuat, memiliki sikap mental yang sehat serta akhlak yang terpuji. Semuanya ini dapat diusahakan melaui pendidikan baik formil maupun informal. Sayangnya usaha itu saat ini semakin bertambah berat pelaksanaannya justru dengan semakin canggihnya perkembangan media massa di masyarakat. Ada semacam peperangan antara idealisme pendidikan dan pemasaran sarana kenikmatan hidup. Sebagai contoh begitu banyak acara hiburan dan informasi yang disodorkan media Televisi yang sesungguhnya tidak cocok untuk anak-anak dengan jam tayang yang tidak tepat dari sisi pendidikan. Selain itu ada beberapa acara yang cocok untuk anak-anak tetapi jam tayangnya justru di saat anak-anak biasanya harus siap berangkat sekolah atau siap ngaji ke surau atau TPQ/TPA, atau sedang belajar, bahkan ada yang diputar di larut malam, padahal isinya sangat bagus untuk menambah pengetahuan dan kebijaksanaan.
Ada acara-acara yang begitu menggoda karena dikemas dengan cara yang sangat menarik, yang bahkan bagi banyak orang tua (ibu) menjadi hiburan utama (misal : serial Telenovela). Orang tua (ibu) menjadi tidak mampu memilih, antara harus memberi pelajaran pada anak, menemani membuat PR, mengajar ngaji Qur’an, ataukah meneruskan menikmatinya karena takut ketinggalan cerita. Sejujurnya bila kita hitung-hitung, sebenarnya sangat sedikit waktu untuk melaksanakan ibadah wajib dan sunah (sholat dan tadarus Qur’an), tetapi kita sangat tahan memelototi TV selama beberapa jam.
Bertambah majunya ilmu pengetahuan dan teknologi tidak selalu memberikan kontribusi yang positif bagi pembentukan kepribadian. Beberapa penelitian sosial-psikologis tentang berita dan acara tayangan di media massa menunjukkan, disamping manfaatnya yang tinggi dan positif bagi perluasan dan perkembangan pengetahuan tetapi juga diikuti oleh kenyataan betapa besar dan luas dampak negatifnya. Dampak negatif itu meliputi meningkatnya patologi sosial di masyarakat, seperti pornografi, pornoaksi, kriminalitas, kenakalan remaja, penyalah gunaan obat, dan sebagainya. Banyak kasus perkosaan dan kelainan seksual atau perilaku agresif lain yang dilakukan oleh anak-anak didahului oleh membaca berita dan menonton tayangan-tayangan tertentu yang menimbulkan gairah tinggi pada pelakunya. Hal ini sungguh harus menjadi keprihatinan bersama.
Jiwa anak bagaikan sebuah camera yang siap untuk merekam segala fenomena yang ada di sekitarnya, dan tidak semua anak mampu melakukan seleksi, editing, croping ataupun deleting terhadap informasi yang masuk. Akibatnya potensi-potensi negatif yang dimiliki anak dapat menjadi lebih dominan dan aktual dibanding potensinya yang positif. Selain itu tidak semua hal ada pada jangkauan kendali kita, banyak hal yang sepertinya memaksa kita untuk menelannya begitu saja. Hal ini perlu menjadi kewaspadaan bagi kita semua, utamanya ketika kita bersemangat untuk membentuk generasi yang kuat yang akan kita tinggalkan nantinya.
Untuk informasi mengenai Lokasi dan Paket Latihan Manasik Haji untuk Anak
Hubungi 081934191121
LATIHAN MANASIK HAJI ANAK TK, PERLUKAH ?
Orang tua dan Guru (khususnya guru Agama) mempunyai tugas yang cukup berat, karena disamping mengajarkan pengetahuan umum dan pengetahuan agama juga harus membina pribadi anak.
Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya, terutama sejak pada masa-masa pertumbuhan awal dalam kandungan, diteruskan pada usianya yang pertama yaitu masa anak dari umur 0 hingga 12 tahun. Seorang anak yang pada masa-masa emas tersebut tidak mendapatkan didikan agama dan tidak pula mempunyai pengalaman keagamaan, maka dapat diramalkan nanti setelah dewasa akan cenderung kepada sikap negatif terhadap agama, pada tatanan kehidupan bahkan pada dirinya sendiri.
Kalau kita ingat dan memahami bahwa tatkala Nabi Ibrahim As selesai membangun Ka’bah, ia memperoleh perintah langsung dari Allah untuk memproklamasikan Haji pada seluruh umat di dunia (Tafsir atas Surah Al- Hajj Ayat 27):
Dan proklamasikanlah haji itu kepada seluruh manusia niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru (dunia) yang jauh (QS. 22: 27)
Ibrahim As lalu naik ke Jabal (Gunung) Abi Qubais dan menyeru dengan suara keras.
” Wahai manusia! Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kamu agar berhaji ke rumah ini (Bayt Allah), niscaya Allah akan memberikan pahala surga dan menjauhkan kamu dari api neraka”.
Saat itu seluruh manusia menjawab, baik yang ada di dalam sulbi laki-laki maupun yang ada dalam rahim perempuan dengan jawaban :
“Labbaykallahumma labbayk” (Aku siap melaksanakan dan memenuhi perintah-Mu Ya Allah).
Dari penuturan di atas tampak bahwa yang menjawab seruan Ibrahim As bukan hanya manusia dewasa tetapi juga para calon manusia yang masih dalam sulbi laki-laki (masih menjadi sperma) yang nantinya bakal menjadi manusia. Ini menunjukkan bahwa manusia wajib memahami masalah haji yang terkenal dengan manasik, termasuk juga hikmah dan hakikat haji sebagai konsekuensi atas jawabannya ketika masih di alam azali. Untuk memahami pemberitahuan atau proklamasi tersebut membutuhkan pengakuan (ilmu, iman dan amal).
Hukum memahami manasik adalah fardhu kifayah, dan bagi yang sudah ada kemampuan serta ada niat, hukum tersebut meningkat menjadi fardhu’ayn , karena bagi setiap individu yang akan melaksanakan haji dituntut untuk memperoleh dan mendapatkan ilmu yang benar tentang manasik dari ulama-ulama yang dipercayai. Mereka yang melaksanakan ibadah haji tanpa ilmu akan mengalami kerugian yang sungguh besar, bahkan hajinya bisa menjadi amalan sia-sia belaka-paling- paling akan dirasakan sebagai sekadar piknik saja. Pelaksanaan ibadah hajinya tidak meninggalkan bekas-bekas pada perilaku sesudahnya, kalaupun ada hanya sekedar cerita yang lebih merupakan kebanggaan dan menimbulkan perasaan peningkatan prestige saja.
Perang antara idealisme pendidikan dan canggihnya teknologi informasi mengingatkan pada kita, betapa pentingnya melakukan upaya serius untuk mengingatkan anak dan diri kita sendiri tentang perjanjian azali serta jawaban kita pada seruan nabi Ibrahim ketika kita masih dalam tulang sulbi. Pelaksanaan latihan manasik haji bagi anak-anak TK sungguh merupakan hal yang patut didukung dengan kesungguhan dan manajemen yang serius, karena merupakan cerminan jawaban manusia atas seruan nabi Ibrahim as, yang perlu dimanifestasikan sedini mungkin, pumpung camera jiwa anak belum terlalu banyak merekam dan dimuati oleh hal-hal duniawi yang negatif.
Usia balita adalah Critical period, masa peka bagi pendidikan rohani, usia dimana jiwanya relatif masih belum terlalu banyak tercoreng dengan kehidupan, sehingga akan lebih mudah tersentuh untuk diingatkan dengan janji dan jawabannya waktu masih di dalam sulbi maupun rahim ibunya. Pelaksanaan menasik haji pada anak TK dapat merupakan salah satu cara memberikan pengalaman pelaksanaan ibadah lengkap yang sedemikian rupa sehingga sangat berkesan dan tertanam dalam jiwanya yang masih polos dan nantinya menjadi bagian dari kepribadiannya yang agamis (cenderung kepada perilaku sesuai tuntunan agama).
Hal ini berkesesuaian dengan pandangan dalam ilmu jiwa agama (psikologi agama) yaitu sebuah ilmu yang saat ini sedang berkembang dengan pesat, yang meneliti dan menelaah kehidupan beragama seseorang dan mempelajari seberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup, juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang dan faktor- faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut karena keyakinan masuk dalam konstruksi kepribadian.
Untuk informasi mengenai Lokasi dan Paket Latihan Manasik Haji untuk Anak
Hubungi 081934191121
PERKEMBANGAN AGAMA PADA ANAK
Kita perlu memahami bahwa pengalaman agama adalah subyektif, intern dan individual, dimana setiap orang akan merasakan pengalaman agama yang berbeda dari orang lain. Dalam hal ini juga ada tahap-tahap perkembangan.
Pada anak-anak, mereka mulai mengenal Tuhan melalui bahasa. Tuhan bagi anak-anak pada permulaan merupakan nama dari sesuatu yang asing yang tidak dikenalnya dan diragukannya. Karenanya pada anak, agama adalah hasil dari lingkungan yang berkembang sebagiannya dari contoh yang diberikan oleh orang tua dan sebagian lainnya dari pelayanan (program)
yang diberikan dengan sengaja.
Kata Allah akan mempunyai arti sendiri bagi anak, sesuai dengan pengamatannya terhadap orang dewasa di sekelilingnya (orang tua/ Guru) ketika mengucapkannya. Allah akan berarti Maha Kuasa, Maha Penyayang atau lainnya sesuai dengan hubungan kata Allah itu dengan air muka dan sikap orang tua/ guru ketika menyebutnya. Oleh karena itu pertumbuhan agama pada anak tidak sama antara satu anak dengan yang lain karena tergantung kepada bagaimana perilaku dan perlakuan orang dewasa di sekelilingnya terhadapnya..
Orang tua adalah pusat kehidupan ruhani si anak dan sebagai penyebab berkenalannya dengan alam luar, maka setiap reaksi emosi anak dan pemikirannya dikemudian hari, dipengaruhi oleh interaksi dengan orang tuanya di permulaan hidupnya. Kekaguman dan penghargaan terhadap figur bapak adalah penting untuk pembinaan jiwa moral dan fikirannya sampai umur 5 tahun, dan inilah bibit yang akan menumbuhkan kepercayaan kepada Allah dalam masyarakat beragama. Hubungan emosional yang diwarnai kasih sayang dan kemesraan antara orang tua dan anak menumbuhkan proses identifikasi.
Orang tua dan tokoh yang berperan sebagai orang tua, khususnya guru, semestinya dapat menjadi idola. Hal ini terutama tampak sekali pada saat anak sekolah di TK. Alangkah ideal bila guru menyadari bahwa dia bukan saja sebagai agen alih informasi (pengetahuan) bagi murid, tetapi juga berperan sebagai obyek identifikasi dan pembentuk kepribadian, sehingga segala perilaku, sikap dan nila-nilai yang ada pada guru betul-betul dapat berpengaruh besar sekali terhadap perkembangan jiwa murid nantinya
Penghayatan tentang eksistensi Tuhan pada anak-anak berbeda dengan orang yang lebih dewasa. Anak menghayati Tuhan lebih sebagai pemuas keinginan dan khayalan yang bersifat egosentris (contoh: anak berdoa semoga Tuhan memberi permen dan uang jajan), karena itu penanaman kesadaran beragama kepada anak hendaknya menekankan pada pemuasan kebutuhan afektif. Diusahakan agar anak dapat menghayati dan merasakan bahwa Allah itu tidak hanya sekedar pemberi mainan, kue dan kenikmatan lain, tetapi Allah adalah Pengasih, Penyayang, Pelindung, Pemberi rasa aman, tentram dan pemuas kebutuhan alam perasaan lainnya. Hal ini hanya dapat terjadi bila orang tua dan guru di kelas juga bersikap, bertindak dan memperlakukannnya dengan penuh kasih-sayang, melindungi, memberikan rasa aman, menentramkan disamping memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya. Bagaimanapun sebelum anak mengenal Tuhan-nya, yang dia kenal adalah orang-tuanya dan gurunya, yang bisa dia hayati sebagai wakil Tuhan di dunia. Pengalaman yang memuaskan dengan “wakil Tuhan” di usia dini, akan cukup menentukan penghayatannya terhadap Tuhan yang sesungguhnya di usia berikutnya.
Pada sekitar usia 8 tahun sikap anak semakin tertuju kepada dunia luar, namun hubungan anak dengan Tuhan masih merupakan hubungan emosional antara kebutuhan pribadinya dengan sesuatu yang ghoib dan dibayangkan secara konkrit. Contoh, ia ingin memiliki semacam tongkat Nabi Musa atau cincin Nabi Sulaiman (seperti yang didongengkan ibu guru / orang tua) untuk digunakan sebagai alat bagi pemenuhan kebutuhan dan keinginannya yang bersifat egosentris, konkrit dan segera (misal ingin PR langsung selesai, punya mainan kesukaan, dsb).
Adanya perasaan konkrit tentang Tuhan sejalan dengan taraf pemikiran anak yang belum mampu berpikir abstrak. Kalau dikatakan bahwa Tuhan itu Maha Melihat, si anak membayangkan betapa besarnya mata Tuhan, kalau orang tua setiap memperingatkan anak dengan ancaman akan dihukum Tuhan, si anak akan mempersepsi Tuhan galak sekali. Kalau guru menerangkan gunung, bumi, bulan adalah ciptaan Tuhan, anak akan membayangkan tangan Tuhan besar sekali, atau Tuhan adalah raja yang sangat berkuasa duduk di singasana istananya yang sangat indah, mengatur malaikat-malaikat sebagai pegawaiNya yang sangat banyak, pandai dan patuh sekali sehingga mampu bersama-sama membangun bumi, bulan, gunung, dan sebagainya.
Pada perkembangan tahap berikutnya setelah anak mampu berpikir secara abstrak dan logis, ia akan memahami bahwa Tuhan itu tidak dapat ditangkap dengan panca indera dan tidak mungkin dibayangkan oleh khayalan pikiran. Namun demikian jejak-jejak persepsi awal tentang Tuhan apakah sebagai figur yang maha menakutkan, maha menghukum, ataukah maha kuasa dan sekaligus maha pengasih dan maha penyayang tetap akan mewarnai penghayatan anak yang telah meningkat.
Dapat dipahami bahwa pada usia balita dan usia yang lebih tua (6-12 tahun), kegiatan ibadah seperti sholat, puasa dan berdoa yang pada mulanya hanya meniru tingkah laku orang dewasa atau karena diperintah, lambat laun akan dihayati dengan kesungguhan. Lebih lanjut peningkatan rasa Ketuhanan dalam hubungan emosional yang diperkuat dengan ikatan moral akan dapat menumbuhkan penilaian bahwa kebaikan tertinggi adalah mengikuti perintah Allah dan meninggalkan laranganNya.
Bertambahnya umur pada anak maka pemikiran yang bersifat operasional konkrit beralih pada nilai wujud atau eksistensi hasil pengamatan. Pengamatan pada Tuhan yang tadinya konkrit-emosional, berubah jadi Tuhan sebagai Sang Pencipta dan Pemelihara, bukan hanya khusus berhubungan dengan dirinya (egosentris) tapi juga pada alam semesta dan melimpahkan rahmatNya bagi seluruh makhluk. Berdasarkan kepercayaan dan pemahaman ini si anak akan mampu mengadakan hubungan yang harmonis dengan dunia luar, semakin bijaksana dan dapat mengontrol dirinya sendiri.
Dari apa yang telah diuraikan tersebut, nyatalah bahwa di dalam menjalankan kewajiban mendidik agama pada anak, khususnya pada saat akan merencanakan pendidikan manasik haji anak TK, kita betul-betul harus memahami tahapan perkembangan anak, sehingga apa yang kita sampaikan dan apa yang kita harapkan menjadi proporsional dan tidak berlebihan. Sehingga program manasik haji pada TK menjadi pengalaman keagamaan yang membahagiakan dan tidak menekan.
Untuk informasi mengenai Lokasi dan Paket Latihan Manasik Haji untuk Anak
Hubungi 081934191121
PERKEMBANGAN PSIKOLOGIS MASA KANAK-KANAK (2-6 TAHUN)
Agar seorang anak mencapai suatu kebahagiaan dan berhasil dalam tugas perkembangan periode berikutnya, setiap individu dituntut untuk berkembang optimal sesuai dengan fasenya yang meliputi : aspek fisik, aspek kognitif, aspek sosial- afektif, dan aspek spiritual-religius.
Pada fase anak 2-6 tahun kemampuan-kemampuan motorik, bahasa, fungsi kecerdasan, sosial-afektif dan moralnya berjalan sejajar dengan perubahan-perubahan dalam tingkah laku dan kepribadian. Pada masa kanak-kanak seorang individu mempunyai tugas perkembangan (kualitas kemampuan yang harus dicapainya) dalam hal:
- Belajar memperoleh keterampilan jasmani untuk melakukan permainan.
- Belajar membentuk sikap mental yang sehat terhadap diri sendiri sebagai makhluk biologis.
- Belajar bergaul dengan teman sebaya.
- Belajar memainkan peranan sebagai pria atau wanita.
- Belajar mengembangkan keterampilan dasar dalam membaca, menulis dan berhitung.
- Belajar mengembangkan konsep-konsep yang perlu untuk kehidupan sehari-hari.
- Belajar mengembangkan kata hati, moralitas dan nilai.
- Belajar berdiri sendiri secara pribadi.
Khususnya dalam perkembangan sosial-afektifnya, seorang anak dituntut untuk mampu berperilaku sesuai dengan tuntutan sosial. Untuk berkembang dalam hal ini memerlukan 3 proses :
Belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial dengan cara mengetahui dan menyesuaikan perilaku dengan patokan yang dapat diterima.
Memainkan peran sosial yang dapat diterima dengan jalan mematuhi peran yang telah disetujui bersama.
Mengembangkan sikap sosial dengan jalan anak harus menyukai orang lain dan aktivitas sosial.
Relatif hanya sedikit anak yang benar-benar berhasil dalam ketiga proses tersebut.
Pada masa kanak-kanak ada dorongan kuat untuk bergaul dan ingin diterima, jika kebutuhan ini tidak terpenuhi anak tidak akan bahagia. Sikap anak terhadap orang lain, pengalaman sosial serta seberapa baik mereka dapat bergaul dengan orang lain, tergantung pada pengalaman belajar selama bertahun-tahun di awal kehidupannya.
Dalam hal perkembangan emosi, seorang anak dituntut untuk mampu mempelajari cara bereaksi dengan emosi yang dapat diterima secara sosial. Anak dapat dirangsang atau dilatih untuk bereaksi positif terhadap hal-hal yang biasanya membangkitkan emosi senang dan dicegah untuk tidak bereaksi secara emosional berlebihan terhadap hal-hal yang tidak menyenangkan. Apabila reaksi emosional yang tidak diinginkan telah terlanjur dipelajari dan terbentuk dalam pola emosi anak, maka akan semakin sulit merubahnya dengan bertambahnya usia anak. Karenanya belajar pengendalian emosi sejak dini tidak hanya positif tetapi juga bersifat preventif.
Metode belajar yang menunjang perkembangan emosi adalah:
Ø Belajar secara coba-coba pada masa anak.
Ø Dengan cara meniru
Ø Dengan cara mempersamakan diri, dalam hal ini anak hanya akan meniru pada orang yang dikaguminya dan mempunyai ikatan emosional yang sangat kuat.
Ø Melalui pengkondisian berarti belajar dengan cara asosiasi.
Ø Pelatihan dengan bimbingan dan pengawasan.
Ø Anak diajari cara bereaksi emosi yang dapat diterima sosial, proporsional dan tepat dengan stimulus (penyebab timbulnya emosi).
Ada satu aktivitas yang sangat penting yang perlu kita pahami pada masa anak yaitu aktivitas bermain. Fungsi bermain mempunyai pengaruh besar sekali bagi perkembangan anak. Melalui bermain anak akan memperoleh kesempatan untuk berusaha mencoba-coba dan melatih diri. Saat bermain-main anak berkesempatan melakukan eksperimen-eksperimen tertentu dan bereksplorasi sambil menguji kesanggupannya. Anak akan mendapatkan bermacam-macam pengalaman yang menyenangkan sambil menggiatkan usaha belajar dan melaksanakan tugas-tugasnya untuk mengembangkan berbagai kemampuan yang harus dimilikinya. Semua pengalaman ketika bermain, akan memberikan dasar yang kokoh bagi pencapaian macam-macam keterampilan yang sangat diperlukan bagi pemecahan kesulitan hidup di kemudian harinya. Maka dapat dimengerti bahwa waktu bermain merupakan kesempatan yang baik untuk melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan hidup dan hidup itu sendiri.
Ada 4 faktor yang menentukan :
- Kesempatan.
- Kebersamaan yang mendorong kemampuan berkomunikasi.
- Motivasi yang sebagian besar tergantung pada tingkat kepuasan yang diperolehnya.
- Metode belajar yang efektif dengan bimbingan.
Untuk informasi mengenai Lokasi dan Paket Latihan Manasik Haji untuk Anak
Hubungi 081934191121
MANASIK HAJI BAGI ANAK TK, PENTING & PERLU !
Dari berbagai uraian dimuka, tampak bahwa manasik haji bagi anak prasekolah dapat kita pandang sebagai suatu upaya pembelajaran nilai-nilai moral dan agama dengan metode simulasi. Metode pembelajaran yang apabila kita manage dan kita rencanakan sedemikian rupa dengan muatan-muatan psikologis yang terkontrol, akan dapat menimbulkan suatu kesan yang mendalam dan dapat kita andalkan sebagai salah satu cara membentuk pribadi anak yang agamis.
Latihan Manasik haji TK dapat dipandang sebagai bentuk permainan, yaitu permainan peran yang mengasyikkan anak dimana anak pura-pura menjadi seorang muslim yang sedang melaksanakan ibadah terlengkap dalam agama Islam, karena dalam ritual haji meliputi pelaksanaan: Pengucapan Syahadatain, Sholat, Puasa dan zakat serta haji itu sendiri.
Ritual-ritual yang dilakukan anak dengan tuntunan dari ibu/bapak guru, walaupun hanya merupakan permainan peran, tetap merupakan aktivitas serius karena dapat dihayati dan membutuhkan kesungguhan dan konsentrasi. Seluruh aspek psikologi anak akan tersentuh, karena praktek manasik tersebut dilakukan dengan aktivitas fisik anak dengan secara urut dan teratur , aktivitas kognitif anak terstimulasi(terangsang) dalam bentuk mendengarkan, menghafal dan mengerti doa-doa serta urutannya, aktivitas sosial-afektif akan dipelajari dalam bentuk beraktivitas bersama-sama dengan teman-temannya dan berlatih untuk menerima aturan permainan, berlatih untuk mematuhi aturan-aturan yang diinformasikan guru, berlatih untuk memenuhi harapan orang lain dengan bertingkah-laku tertib dan berlatih tanggung-jawab, berlatih bersikap sosial seperti mengalah, tertib, toleran, membagi, berkorban dan sebagainya yang akan memacu sosialisasi anak. Dalam manasik, anak akan mengenal nilai-nilai moral dan agama praktis, anak akan mendapatkan pengalaman tentang perilaku-perilaku yang boleh dan yang tidak boleh dia lakukan, baik sesuai dengan agama maupun sesuai dengan tuntutan lingkungan.
Sebagai suatu aktivitas simulasi, aktivitas permainan pura-pura, maka manasik haji TK, sekalipun sederhana dan simpel bagaimanapun akan dapat memberikan dampak positif sebagaimana manasik haji yang sesungguhnya yang dilakukan para muslim dewasa.
Diantara manfaat haji “yang sesungguhnya” yang perlu kita ketahui adalah :
Melatih diri dengan mempergunakan seluruh kemampuan mengingat Allah dengan khusu’ pada hari-hari yang telah ditentukan dengan memurnikan kepatuhan dan ketundukan hanya kepada-Nya saja. Pada waktu seseorang berusaha mengendalikan hawa nafsunya dengan mengikuti perintah-peritah Allah dan menghentikan larangan-larangan-Nya walau apapun yang menghalangi dan merintanginya. Latihan-latihan yang dikerjakan selama mengerjakan ibadah haji itu diharapkan berbekas di dalam hati sanubari kemudian dapat diulangi lagi mengerjakan setelah kembali dari tanah suci nanti, sehingga menjadi kebiasaan yang baik bagi penghidupan dan kehidupan.
Menimbulkan rasa perdamaian dan rasa persaudaraan diantara sesama kaum Muslimin. Sejak seorang calon haji mengenakan pakaian ihram, pakaian putih yang tak berjahit-sebagai tanda telah mengerjakan ibadah haji-maka sejak itu ia telah menanggalkan pakaian duniawi, pakaian kesukaannya, pakaian kebesarannya pakaian kemewahannya dan sebagainya. Semua manusia kelihatan sama dalam pakaian ihram; tidak dapat dibedakan antara si kaya dan si miskin, antara penguasa dengan rakyat jelata, antara yang pandai dengan yang bodoh, antara tuan dengan budak, semuanya sama tunduk dan dan menghambakan diri kepada Tuhan Semesta Alam, sama-sama thawaf, sama-sama berlari di panas terik antara bukit Shafa dan Marwah, sama-sama berdesakan melempar jumrah, sama-sama tunduk dan tafakur di tengah-tengah padang Arafah. Dalam keadaan demikian terasalah bahwa diri itu sama saja dengan orang lain. Yang membedakan derajat antara seseorang dengan yang lain hanyalah tingkat ketakwaan dan ketaatan kepada Allah. Karena itu timbullah rasa ingin tolong-menolong, rasa seagama, rasa senasib dan sepenanggungann, rasa hormat-menghormati sesama manusia.
Mencoba mengalami dan membayangkan kehidupan di akhirat nanti, yang pada waktu itu tidak seorang pun dapat memberikan pertolongan kecuali Allah SWT. Wuquf di Arafah di tempat berkumpulnya manusia yang banyak merupakan gambaran kehidupan di mahsyar nanti. Demikian pula melempar jumrah di panas terik tengah padang pasir dalam keadaan haus dan dahaga. Semua itu menggambarkan saat-saat ketika manusia berdiri di hadapan Mahkamah Allah di akhirat nanti.
Menghilangkan rasa harga diri yang berlebih-lebihan. Seseorang waktu berada di negerinya, biasanya terikat oleh adat-istiadat yang biasa mereka lakukan sehari—hari dalam pergaulan mereka. Sedikit saja perbedaan dapat menimbulkan kesalahpahaman, bahkan dapat menimbulkan perselisihan dan pertentangan. Pada waktu melaksanakan ibadah haji bertemulah kaum muslimin seluruh dunia dari negeri yang berbeda-beda, masing-masing mempunyai adat-istiadat, kebiasaan hidup dan tata cara yang berbeda-beda pula. Maka terjadilah persinggungan antara adat-istiadat dan kebiasaan hidup itu. Seperti cara berbicara, cara makan, cara berpakaian, dan menghormati tamu dan sebagainya. Di waktu menunaikan ibadah haji terjadi persinggungan dan benturan badan antara jamaah dari suatu negeri dengan jamaah dari negara-negara yang lain, seperti waktu Thawaf, waktu Sa’i, Wukuf di Arafah, waktu melempar jumrah dan sebagainya. Waktu shalat di Masjidil Haram, tubuh seseorang yang sedang duduk dilangkahi oleh temannya yang lain karena ingin mendapatkan shaf yang di depan, demikian pula persoalan bahasa dan isyarat, semua itu mudah menimbulkan kesalahpahaman dan perselisihan. Bagi seseorang yang sedang melakukan ibadah haji, semua itu harus dihadapi dengan sabar, dengan dada yang lapang harus dihadapi dengan berpangkal pada dugaan-dugaan bahwa semua jamaah haji melakukan yang demikian itu bukanlah untuk menyakiti temannya dan bukan pula untuk menyinggung perasaan orang lain, tetapi semata-mata untuk mencapai tujuan maksimal dari ibadah haji. Mereka semuanya ingin memperoleh haji mabrur, apakah ia orang kaya atau orang miskin dan sebagainya.
Menghayati kehidupan dan perjuangan Nabi Ibrahim beserta putranya Ismail dan Muhammad SAW beserta para sahabatnya waktu Nabi Ibrahim pertama kali datang di Makkah bersama isterinya Hajar dan puteranya Ismail yang masih kecil. Kota Makkah masih merupakan padang pasir yang belum didiami oleh seorang manusia pun. Dalam keadaan demikianlah Ibrahim meninggalkan isteri dan puteranya di sana, sedangkan ia sendiri kembali ke Syiria. Dapat dirasakan apa yang dimiliki Hajar dan puteranya yang masih kecil, tidak ada manusia tempat mengadu dan minta tolong kecuali hanya kepada Tuhan saja. Sesayup-sayup mata memandang terbentang padang pasir yang luas tanpa tumbuh-tumbuhan yang dapat dijadikan tempat berlindung. Dapat dirasakan kesusahan Hajar berlari antara bukit Shafa dan Marwah mencari setetes air untuk diminum anaknya. Dapat direnungkan dan dijadikan teladan tentang ketaatan dan kepatuhan Ibrahim kepada Allah. Ia telah bersedia menyembeliih putera tercintanya Ismail semata-mata untuk memenuhi dan melaksanakan perintah Allah. Kaum muslimin selama mengerjakan ibadah haji dan melihat bekas-bekas dan tempat-tempat yang ada hubungannya dengan perjuangan Nabi Muhammad bersama sahabatnya dalam menegakkan agama Allah. Sejak Dari Makkah di saat-saat ia mendapat halangan, rintangan bahkan siksaan dari orang-orang musyrik Makkah. Kemudian ia hijrah ke Madinah berjalan kaki dalam keadaan dikejar-kejar orang-orang kafir. Demikian pula usaha-usahanya yang ia lakukan di Madinah berperang dengan orang-orang kafir, menghadapi kelicikan dan fitnah orang Yahudi. Semua itu dapat diingat dan dihayati selama menunaikan ibadah haji dan diharapkan dapat menambah iman dan ketakwaan kepada Allah SWT yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang.
Sebagai muktamar Islam seluruh dunia. Pada musim haji berdatanganlah kaum Muslimin dari seluruh dunia. Secara tidak langsung terjadilah pertemuan kaum Muslimin seluruh dunia, antara suku bangsa dengan suku bangsa, antara bangsa dengan bangsa yang beraneka ragam coraknya itu. Antara mereka itu dapat berbincang dan bertukar pengalaman dengan yang lain sehingga pengalaman dan pemikiran seseorang dapat diambil dan dimanfaatkan oleh orang lain, terutama setelah masing-masing mereka sampai di negeri mereka nanti. Jika pertemuan yang seperti ini diorganisir dengan baik, tentulah akan besar manfaatnya. Akan dapat memecahkan masalah-masalah yang sulit yang dihadapi umat Islam di negara mereka masing-masing. Semuanya itu akan berfaedah pula bagi individu, masyarakat dan agama. Alangkah baiknya jika waktu itu diadakan pertemuan para ahli, para ulama, para pemuka masyarakat, para usahawan dan sebagainya. Disamping enam macam yang dikemukakan ini, ada lagi manfaat yang paling penting, yaitu perluasan wawasan keilmuan sehingga terbukalah pikiran kita betapa banyaknya mazhab-mazhab dalam pelaksanaan ibadah, tetapi semua itu satu dalam agama, saudara dalam iman.
Betapa besarnya dampak psikologis manasik haji yang sesungguhnya akan juga dapat diperoleh anak dalam bentuk simulasi yang sederhana, namun demikian untuk mencapai dampak positif yang optimal tentunya ada hal-hal yang perlu diketahui dan dipersiapkan oleh guru dan orang tua lebih dahulu.
Saran yang dapat kami berikan adalah:
Manasik haji TK seharusnya dilaksanakan dengan serius, dengan jadwal dan urutan yang benar mendekati manasik haji yang sesungguhnya. Namun demikian juga jangan sampai permainan simulasi ini menjadi sedemikian terlalu seriusnya sehingga anak kehilangan kenikmatan memainkan peran. Suasana menyenangkan dan merangsang ingin tahu dan merangsang minat anak perlu dibina.
Bapak/ibu guru dan orang tua, semestinya telah menguasai dan mengerti manasik haji sekalipun belum tentu sudah ber- haji. Sehingga informasi yang diberikan pada anak dalam bentuk dongeng/cerita sebelum melakukan manasik akan mengesankan dan meyakinkan anak. Guru dan orang tua akan mampu memberikan sugesti sedemikian rupa sehingga anak didik tidak akan dapat melupakannya seumur hidupnya, membekas dalam sanubari dan InsyaAllah akan mempengaruhi jiwa dan perilakunya.
Agar lebih menimbulkan kesan mendalam, maka pengaturan tempat maupun sarana semesthinya diatur sedemikian rupa sehinga memungkinkan anak benar-benar merasakan seperti naik haji betulan, anak-anak akan benar-benar melakukan aktivitas fisik, sosial dan psikis.
Program ini jangan sampai hanya menjadi program popular dan demi prestise Sekolah saja, tetapi benar-benar sebagai program pendidikan yang terstruktur dan terencana dengan target pendidikan yang jelas. Sebagai suatu program dakwah yang bahkan dapat menyentuh tidak hanya pada anak saja tapi juga dapat menyentuh sampai pada orang tua dan keluarga murid. Karenanya promosi menjadi suatu hal yang penting.
Perlu disusun suatu modul pelaksanaan manasik haji di TK, sehingga ada tuntunan bagaimana menyelenggarakannya dengan benar.
Demikianlah, dengan informasi yang benar yang dikuasai, dengan manajemen yang serius dan bersungguh-sungguh dan lebih-lebih dengan niatan yang benar dan “bersih”, InsyaAllah penyelenggaraan Manasik Haji bagi TK adalah sangat psikologis dan diridhoi Allah SWT.
“Tiada satu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.
Dan didekatkanlah sorga itu kepada orang-orang yang bertaqwa pada tempat yang tiada jauh dari mereka.
Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturanNya).(QS. QOOF, 50:18, 31, 32)
Dra. Hj. Rt. Anggraini KE
Fak. Psikologi Unissula Semarang
Untuk informasi mengenai Lokasi dan Paket Latihan Manasik Haji untuk Anak
Hubungi